Laman

Assalamu Alaikum.....
Google

Qur'an Random

Senin, 31 Mei 2010

Siapakah Ahlu Sunnah wal-Jamaah?

Arti secara ithlâq-nya, yang dimaksud golongan “Ahlusunah Waljamaah” adalah para pengikut metodologi tauhid dari Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Definisi ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tathhîrul-Jinân wa al-Lisân dan al-Hafizh Murtadha az-Zabidi (w. 1205 H) dalam al-‘Ithaf. Namun sebetulnya, masih ada konsep lain yang juga harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai Ahlusunah Waljamaah: konsep akidah (keyakinan), fikih (ritual ibadah), dan tasawuf (akhlak batin).

Yang dimaksud akidah atau keyakinan adalah sesuatu yang tersimpan dalam hati untuk meyakini hal-hal yang tidak pernah dilihatnya secara konkret. Ibadah adalah ritual yang dilakukan manusia dalam menyembah Tuhannya. Sedangkan akhlak batin adalah kebaikan-kebaikan yang dilakukan di luar kewajibannya sebagai seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Ihwal dalam Hadis Jibril, pertanyaan yang diajukan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam tentang al-Imân, al-Islâm, dan al-Ihsân, adalah embrio yang melahirkan tiga konsep di atas dalam Islam. Ketiga konsep ini membentuk satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Jika ketiganya terpenuhi, maka seorang hamba dapat dikatakan menyembah Tuhannya dengan cara dan jalan yang benar sesuai ajaran Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam.

Apabila salah satunya menyimpang atau terkontaminasi ajaran agama lain, maka konsekuensinya tidak dapat ditoleransi. Keyakinan yang terasuki hal-hal di luar akidah Ahlusunah Waljamaah, ritual ibadah dan jalan tasawuf yang tercampuri oleh hal-hal yang tidak diajarkan dalam agama Islam, mengakibatkan terbentuknya sekte sesat Islam atau bahkan menjadi agama tersendiri yang keluar dari lingkup agama Islam.

Contoh keyakinan yang terkontaminasi ini misalnya adalah golongan Muktazilah, Khawarij, Syiah, dan yang lain. Dari sisi fikih, misalnya pengikut Imam Dawud azh-Zhahiri atau golongan yang berfikih tanpa menggunakan taklid mazhab. Sementara dari tasawuf, misalnya penyucian diri ala agama Kebatinan atau Bathiniyah dan lain sebagainya.

Bagi Muslim awam yang tidak bisa melakukan ijtihâd atau istinbâthul-hukmi dengan dirinya sendiri, maka untuk dapat memenuhi ketiganya ia berkewajiban menempuh jalan taklid kepada para ulama yang telah membuatkan metodologinya. Al-Imân atau akidah, metodologinya dikonsep oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, metodologi al-Islâm dikonsep oleh al-Madzâhib al-Arba‘ah, sedang al-Ihsân, dikonsep oleh Imam al-Ghazali, Imam Junaid, dan ulama sufi lainnya yang sepaham.

Namun demikian, taklid dalam persoalan akidah tidak sama persis dengan taklid di bidang fikih. Konsep akidah yang dibuat oleh Imam Asy’ariyah hanya menjadi jalan menuju apa yang dikehendaki ajaran Islam dalam bertauhid. Jadi, konsep akidah asyariyah semisal sifat wajib Allah Subhânahu wata‘âlâ yang dua puluh, adalah petunjuk untuk mencapai gambaran mengenai Zat Allah Subhânahu wata‘âlâ. Allah dan hal-hal gaib lainnya yang wajib diyakini oleh umat Islam, seperti surga, neraka, dan lainnya perlu ada sesuatu yang menunjukkan untuk dapat diyakini kebenarannya. Apa yang dijelaskan oleh Imam al-Asy’ari, tidak lain adalah petunjuk untuk mencapai al-Imân.

Dalam majalah ini, kami sengaja tidak membahas ketiga konsep di atas secara keseluruhan. Demi menfokuskan sajian, kami kerucutkan pada pembahasan konsep al-Imân dan yang berkaitan dengannya, semisal biografi para ulama mutakallimin, sinopsis dan resensi kitab dan buku akidah, serta aliran-aliran sesat dalam Islam.

by: A. Fadoil Khalik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar