Laman

Assalamu Alaikum.....
Google

Qur'an Random

Senin, 21 Desember 2009

AGAMA DAN SEKTE: MERAJUT UKHUWAH TANPA KACAUKAN AKIDAH

Maraknya wacana-wacana baru di bidang keagamaan, seperti halnya di berbagai bidang yang lain, tentu tidak lepas dari pengaruh Barat yang terus menguat, mendominasi, melemahkan, dan melumpuhkan bangsa-bangsa inferior, termasuk Indonesia. Pada level pemikiran, bangsa-bangsa di Dunia Ketiga seakan terisolasi, dan pemikiran mereka nyaris tak bisa berkembang melampaui batas-batas pemikiran hegemonik yang mengitarinya, yakni pemikiran Barat Sekular.

Secara garis besar, Dr Hamid Fahmi Zarkasyi mengklasifikasi peradaban Barat pada dua periode penting, yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan pada abad pencerahan, abad industri, dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-cirinya adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi, pragamatisme, dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Modernisme yang terkadang disebut Westernisme juga membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme, liberalisme, sekularisme, dan sebagainya.

Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme, karena ia telah bergeser pada paham-paham baru, seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan gender, dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme, dan pluralismenya. Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang menguasai dunia.

Namun kendati bagaimana pun, para pakar agaknya bersepakat bahwa elemen terpenting dari suatu peradaban adalah agama. Huntington misalnya, menyatakan bahwa, “Agama adalah sentral yang menentukan karakteristik peradaban-peradaban.” Barangkali bertolak dari titik ini, dalam Clash of Civilization selanjutnya ia menunjuk Islam sebagai ancaman paling serius bagi Barat, setelah tumbangnya Komunisme.

Pernyataan Huntington di atas memberikan kejelasan bahwa hingga detik ini mesti terus disadari jika kita masih ada dalam zona perang pemikiran (ghazwu al-fikr). Nah, di sinilah kemudian pluralisme, salah satu unsur yang membentuk peradaban Barat, bermain. Disadari atau tidak, saat ini isme tersebut kini telah menjadi salah satu konsep pemikiran yang—sayangnya—ditangkap secara mentah justru oleh masyarakat Muslim level menengah ke atas.

Secara terminologis, pluralisme agama berarti hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. Namun dari segi konteks di mana “pluralisme agama” sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern, istilah ini telah menemukan definisinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula, bahwa pluralisme agama, sebagaimana ditegaskan oleh Jon Hick, adalah sebuah faham bahwa agama merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama adalah sama, tak ada yang lebih baik dari yang lain.

Sangat jelas, bahwa rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas adalah berangkat dari pendekatan substantif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial. Dengan demikian, telah terjadi pengebirian dan reduksi pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan pangkal permasalahan sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tidak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan agama itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbit yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak reduksionistik.

Akan tetapi sungguh mengejutkan, sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Anis Malik Toha, ternyata pemahaman reduksionistik inilah yang justru semakin populer dan bahkan diterima di kalangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan pemikiran yang berbeda, hingga menjadi sebuah fenomena baru dalam dunia pemikiran manusia yang secara diametral berbeda dengan apa yang sudah dikenali secara umum.

Kenyataan bahwa setiap agama menghendaki kedamaian antar-umat manusia, tidak mengajarkan huru-hara dan pertumpahan darah, tidak lantas bisa disimpulkan bahwa setiap agama dalam tataran esoteris adalah sama, dan dengan begitu pluralisme agama adalah sebuah keniscayaan yang tak perlu disangkal.

Menyatakan ajaran-ajaran tersebut adalah bagian dari doktrin setiap agama adalah benar, namun menyimpulkan paham pluralitas keagamaan dari bagian doktrin agama tersebut adalah keliru total. Sebab ajaran-ajaran tersebut tidaklah mewakili agama secara keseluruhan. Selain mengajarkan kedamaian, setiap agama juga punya konsep Kebenaran, konsep Tuhan, Kitab Suci, syariat, dan tata-nilai yang berbeda-beda. Nah, kesatuan dari unsur-unsur doktrin, ajaran, dan tata-nilai itulah yang disebut agama. Maka adalah tidak proporsional jika dengan segelintir persamaan dan segudang perbedaan, lalu yang jadi dominan adalah persamaannya, kemudian dengan enteng dinyatakan bahwa setiap agama adalah sama, dan dengan demikian kebenaran ada pada setiap agama. Karenanya, mengharapkan kedamaian dengan pluralisme agama adalah suatu estimasi (perkiraan) yang tidak realistis.

Tidak jauh berbeda dengan pluralisme agama, adalah pemikiran pluralisme sekte dalam agama (Islam). Jika dilakukan pembacaan secara historis atau sosio-politis, pluralisme sekte tidaklah terjadi akibat kontak dengan Barat, sebagaimana pluralisme agama. Sebab sekte-sekte dalam Islam telah berkembang pada periode awal. Jadi, pemikiran pluralistis dalam lingkup ini (antar sekte) muncul dari umat Islam sendiri, barangkali untuk meredam konflik yang rentan terjadi.

Mengenai hal ini, Ahmad Amin dalam Dhuru al-Islâm agaknya menilai bahwa pemikiran seperti ini mulai berkembang sejak abad pertengahan, setidaknya sejak al-Anbari mengambil keputusan untuk abstain dan tidak menyalahkan akidah siapa pun, baik Jabariyah maupun Qadariyah. “Orang yang bilang status pezina adalah mukmin tentu benar, yang menuduh ia kafir juga tak bisa disalahkan, begitu pula yang mengklaim fasik atau munafik. Sebab al-Quran memang berisyarat pada arti-arti yang beragam itu," demikian kata al-Anbari.

Nah, saat ini, sikap yang semula dimunculkan al-Anbari ini agaknya mengalami perkembangan mengiringi perkembangan pluralisme agama. Ketika pluralisme agama meniscayakan untuk mengikis habis agama-agama yang ada, maka pluralisme antar-sekte meniscayakan seseorang untuk melepaskan akidah masing-masing, sehingga dengan demikiran diharapkan tidak ada pertikaian masalah akidah yang tidak perlu dan seringkali merugikan.

Sebetulnya, di sini para pemeluk faham pluralisme sekte salah perhitungan dan terjebak dalam sikap absolutisme yang arogan. Hal ini dapat diperjelas dengan beberapa alasan. Pertama, dapat dipastikan bahwa siapa pun tidak bisa lepas dari suatu nilai yang dianggapnya benar secara mutlak. Jadi, mereka yang mengajak setiap orang untuk keluar dari akidah yang mereka yakini, sebetulnya juga mengajak untuk masuk pada akidah baru yang bernama “pluralisme sekte”. Kedua, berdasarkan alasan pertama, maka keberadaan akidah merupakan perangkat yang paling mendasar dalam diri setiap penganut sekte. Jika perangkat ini hilang, maka seseorang tidak bisa dikatakan lepas dari setiap ideologi (akidah), sebab dapat dipastikan jika ia akan masuk pada ideologi baru yang diyakini kebenarannya secara mutlak. Jika tidak pada pluralisme sekte, maka ia akan masuk pada faham agnostisisme atau “tidak tahu-isme” (al-lâ adriyah).

Dengan demikian, para penganjur pluralisme sekte berupaya untuk keluar dari segenap ideologi, namun tanpa disadari ternyata ia masuk pada ideologi yang lain. Maka, keyakinan bahwa “hanya firqah dan kelompok saya yang benar” adalah hal yang fitrah dan karenanya tak perlu dirisaukan. Kita tinggal menunggu untuk membuktikan, apakah kebenaran itu mampu melewati seleksi dan mampu mengatasi ujian waktu atau tidak?

Kenyataan ini sesungguhnya telah membuyarkan mimpi kalangan yang “mendambakan” terjalinnya persatuan umat dengan cara mengikis habis warna-warna ideologis yang disandang masing-masing sekte dan golongan tadi. Sebab selain tidak mungkin dan absurd, dengan logika tadi, sejatinya kalangan ini hendak menarik setiap sekte untuk masuk pada ideologinya sendiri, yang diyakini kebenarannya secara mutlak. Sahingga yang terjadi di sini bukan ajakan untuk berjalan bersama, namun tetap pada konflik pemikiran dan ideologi yang terjadi sebelumnya. Artinya, penganjur “persatuan umat” yang memberikan solusi agar mengacuhkan keyakinan-keyakinan ideologis itu, sejatinya juga larut dalam peperangan ideologis dan pemikiran yang tengah terjadi. Ini adalah hal yang riil dan tidak bisa dipungkiri.

Alhasil, menciptakan persatuan, kebersamaan, kehidupan tenteram, dan suasana damai dalam dunia Islam, di samping keberagaman sekte yang selalu tarik-menarik dengan keyakinan akan “kebenaran” masing-masing, sejatinya bukanlah proyek yang tabu atau fiktif. Mengupayakan kemajuan dan kejayaan peradaban Islam di tengah kotak-kotak sekte, dengan tetap mempertahankan akidah, keyakinan, dan kebenaran versi masing-masing, adalah hal yang sangat mungkin dicapai, baik secara logis maupun historis. Justru adalah absurd, jika mimpi persatuan itu diharapkan muncul dari ranah yang memang berhadap-hadapan secara diametral. Bagaimana mungkin dapat dipersatukan jika standar yang mungkin dipakai untuk itu (akidah) juga berbeda? Tidakkah upaya sedemikian nantinya malah berbuah kekacauan akidah?

Maka, kesadaran akan perbedaan akidah ini, barangkali memang mengharuskan kita untuk mencari celah ukhuwah di ranah lain, yakni pada ranah non-teologis atau administratif. Bahwa dalam konteks pluralitas (bukan pluralisme) agama di Madinah pada masa Rasulullah saw, Islam menawarkan pendekatan non-teologis dalam rangka melakukan harmonisasi antara Islam dan non Muslim. Karena secara teologis, Islam sudah tuntas, final, dan tak perlu dilakukan pembahasan ulang, sehingga penyelesaian yang mendesak adalah penyelesaian praktikal administratif; bagaimana mengatur kehidupan bersama, berdampingan, saling membantu, dan kerjasama. Semua itu dilakukan di luar ranah teologis, dan aturan-aturan administratif itu diwujudkan dalam bentuk Piagam Madinah (Dustûr al-Madînah). Jadi, pada masa Rasulullah saw, Piagam Madinah mengatur hubungan antara umat beragama secara administratif, dan tak menyinggung masalah teologis sama sekali.

Maka, seperti halnya kenyataan akan pluralitas agama, pluralitas sekte dalam agama (Islam) juga membutuhkan toleransi, sehingga di sini, toleransi adalah suatu hajat bagi setiap individu sekte-sekte agama yang ada. Mereka tak mungkin eksis tanpa adanya toleransi, dan di sini, pemersatuan secara administratif (aspek non-teologis) adalah langkah yang paling mungkin untuk ditempuh dalam rangka memupuk toleransi dan harmoni antar-sekte tersebut. Namun yang perlu diperhatikan adalah, bahwa toleransi bukanlah pluralisme antar-sekte. Toleransi hanya sebatas menghargai mereka yang memiliki keyakinan lain dan tidak mengganggu hak-hak hidupnya.

Jadi secara historis, ukhuwah seperti itu sudah dibuktikan oleh sejarah, dengan keberhasilan Nabi Muhammad saw dalam membina masyarakat madani di Madinah, di tengah keberagaman agama: Islam, Yahudi, Kristen, Majusi, dll. Demikian pula halnya pada periode Khulafâ’ ar-Râsyidûn dan dinasti-dinasti Islam selanjutnya, seperti kegemilangan pemerintahan Islam di Spanyol, yang berhasil membangun peradaban yang paling unggul di Eropa di tengah keberagaman agama: Islam, Yahudi, dan Kristen. Nah, jika pada skala yang lebih besar (perbedaan antar agama) perdamaian dapat dicapai, maka secara logis, pada lingkup yang lebih kecil (perbedaan antar sekte), perdamaian, kemajuan, dan bahkan kejayaan peradaban Islam sangat mungkin untuk diraih. Allâhu al-Musta‘ân.

(dimuat di buletin sidogiri edisi 22)

AnehdoT.......Rahasia Sehat Orang Muslim

Suatu ketika Edward Line mengundang makan para pedagang muslim untuk berbuka bersama di bulan Ramadhan. Setelah adzan Maghrib dikumandangkan dan hidangan dihampar, Edward mempersilakan mereka untuk menikmatinya. Betapa terkejutnya Edward ketika melihat cara makan para pedagang itu. Sebab, mereka menyantapnya dengan begitu lahap sehingga makanan yang tersedia hampir habis.
Melihat seperti itu, Edward berkeyakinan pasti mereka akan merasakan sakit perut. Meskipun demikian, ia tetap memperhatikan sikap para tamunya sampai waktu salat Isya’ tiba. Para pedagang Muslim itu pun akhirnya menunaikan salat Isya’ yang kemudian melanjutkannya dengan salat Tarawih. Melihat gerakan salat para pedagang muslim yang begitu semangatnya dalam mengerjakan Tarawih, akhirnya Edward berkata, “Rupanya ini rahasia mereka yang dapat menyebabkan orang Islam selalu sehat dan tidak sakit perut meskipun perut mereka terisi penuh.

(from sidogiri.net)

Sabtu, 19 Desember 2009

Munajat Orang Yang Takut Kepada Allah

Dengan Asma Allah yang Mahakasih dan Mahasayang

Ilahi
Benarkah Engkau akan menyiksaku
setelah aku beriman pada-Mu?
Benarkah Engkau akan menjauhiku
setelah aku mencintai-Mu
Benarkah Engkau akan menolakku
setelah aku mengharapkan rahmat dan maaf-Mu?
Benarkah Engkau akan menghempaskanku
setelah aku berlindung dengan ampunan-Mu?
Demi wajah-Mu yang mulia
Tidak mungkin Engkau mengecewakanku
Duhai diriku!
untuk kecelakaankah Ibu melahirkanku
untuk kesusahankah Engkau memeliharaku
Ah, alangkah baiknya, bila Ibu tidak melahirkanku
dan Engkau tidak memeliharaku
Ah, alangkah baiknya, sekiranya aku tahu
Engkau jadikan aku pemilik bahagia
Yang Engkau istimewakan dengan qurbah di dekat-Mu
sehingga tenang hatiku dan tenteram diriku

Ilahi
Apakah Engkau akan menggelapkan wajah-wajah
yang sudah rebah tunduk karena kebesaran-Mu
Apakah Engkau akan membungkam lidah-lidah
yang selalu bergetar memuji keagungan dan keluhuran-Mu
Apakah Engkau akan mengunci hati
yang telah luluh dalam kecintaan pada-Mu
Apakah Engkau akan menulikan telinga-telinga
yang telah menikmati mendengarkan dzikir-Mu dalam iradah-Mu
Apakah Engkau akan membelenggu tangan-tangan
yang terangkat karena harapan pada-Mu memohonkan kasih-Mu
Apakah Engkau akan menyiksa tubuh-tubuh
yang beramal mematuhi-Mu sehingga melepuh dalam mengabdi-Mu
Apakah Engkau akan mengazab kaki-kaki
yang berlari untuk berbakti pada-Mu

Tuhanku
Jangan tutupkan pintu rahmat-Mu
dari orang yang mengesakan-Mu
Jangan halangi memandang indahnya rukyat-Mu
orang yang merindukan-Mu

Ilahi
Diri yang telah Engkau teguhkan
dengan tauhid-Mu
Bagaimana mungkin Engkau rendahkan
dengan kehinaan pengusiran-Mu
Hati yang telah terikat dengan cinta-Mu
Bagaimana mungkin Engkau Bakar
dengan panasnya api-Mu

Ilahi
Lindungi aku dari pedihnya murka-Mu
dan besarnya marah-Mu
Wahai Yang Pengasih
Wahai Yang Pemberi
Wahai Yang Penyayang
Wahai Yang Penyantun
Wahai Pemaksa, wahai Penguasa
Wahai Pengampun, wahai Penutup
Selamatkan aku dengan rahmat-Mu
dari azab neraka dan ungkapan cela
Pada saat terpisah orang mulia
dan orang durhaka
ketika segala daya binasa
dan segala bahaya menimpa
ketika orang baik didekatkan,
orang jahat dijauhkan
Setiap diri dibalas sesuai dengan hasil kerjanya
dan tidak dianiaya.

Kamis, 17 Desember 2009

Munajat Orang Yang Bertaubat Dengan Asma Allah yang Mahakasih dan Mahasayang

Kesalahan telah menutupku dengan pakaian kehinaan
Perpisahan dari-Mu telah membungkusku dengan jubah kerendahan
Besarnya dosaku telah mematikan hatiku
Hidupkan aku dengan ampunan-Mu
Wahai Cita dan Dambaku, Wahai Ingin dan Harapku
Demi keagungan-Mu
tidak kudapatkan pengampun dosaku selain-Mu
Tidak kulihat penyembuh lukaku selain-Mu
Aku pasrah berserah pada-Mu
Aku tunduk bersimpuh pada-Mu
Jika engkau usir aku dari pintu-Mu
kepada siapa lagi aku bernaung?
jika Engkau tolak aku dari sisi-Mu
kepada siapa lagi aku berlindung?
Celaka sudah diriku, lantaran aib dan celaku
Malang benar aku, karena kejelekan dan kejahatanku

Aku bermohon pada-Mu
Wahai pengampun dosa yang besar
Wahai penyembuh tulang yang patah
Anugerahkan padaku penghancur dosa
Tutuplah untukku pembongkar cela
Jangan lewatkan aku - di hari kiamat
dari sejuknya ampunan dan maghfirah-Mu
Jangan tinggalkan aku
dari indahnya maaf dan penghapusan-Mu

Ilahi
Naungi dosa-dosaku dengan awan rahmat-Mu
Curahi cela-celaku dengan hujan kasih-Mu

Ilahi
Kepada siapa lagi hamba yang lari, kecuali pada mawla-Nya
Adakah selain Dia yang melindungi dari murka-Nya

Ilahi
Sekiranya sesal atas dosa itu taubat
Sungguh demi keagungan-Mu, aku ini orang yang menyesal
Sekiranya istighfar itu penghapus dosa
Sungguh kepada-Mu aku ini beristighfar
Terserah pada-Mu jua (Kecamlah aku sampai Engkau ridha)

Ilahi
dengan kodrat-Mu ampuni aku
dengan kasih-Mu maafkan aku
dengan ilmu-Mu sayangi aku

Ilahi
Engkaulah yang membuka pintu menuju maaf-Mu
kepada hamba-hamba-Mu
Engkau namai itu taubat
Engkau berfirman: Bertaubatlah taubat nashuha
Apa halangan orang yang lalai memasuki pintu itu setelah terbuka

Ilahi,
Jika jelek dosa dari hamba-Mu
baikkanlah maaf dari sisi-Mu

Ilahi
Aku bukan yang pertama membantah-Mu dan Engkau maafkan
dan menolak nikmat-Mu tapi Engkau kasihi
Wahai yang Menjawab pengaduan orang yang berduka!
Wahai pelepas derita!
Wahai penabur karunia!
Wahai yang Maha mengetahui rahasia!
Wahai yang paling Indah dalam menutup cela!
Aku memohon pertolongan dengan karunia dan kebaikan-Mu
Aku bertawassul dengan kemuliaan dan kasih-Mu
Perkenankan doaku, jangan kecewakan harapanku
Terimalah taubatku, hapuskan kesalahanku
Dengan karunia dan rahmat-Mu
Wahai yang lebih pengasih dari segala yang mengasihi

Selasa, 15 Desember 2009

MUNAJAT PARA PENSYUKUR NIKMAT

Dengan Asma Allah yang Mahakasih dan Mahasayang

Tuhanku
Runtunan karunia-Mu telah melengahkan aku
untuk benar-benar bersyukur pada-Mu
Limpahkan anugerah-Mu telah melemahkan aku
untuk menghitung pujian atas-Mu
Iringan ganjaran-Mu telah menyibukkan aku
untuk menyebut kemuliaan-Mu
Rangkaian bantuan-Mu telah melalaikan aku
untuk memperbanyak pujaan pada-Mu

Inilah tempat orang yang mengakui limpahan nikmat
tetapi membalasnya tanpa terima kasih
yang menyaksikan kelalaian dan kealpaan dirinya
Padahal engkau Mahakasih dan Mahasayang
Mahabaik dan maha Pemurah
yang tak kan mengecewakan pencari-Nya
yang tak kan menolak dari sisi-Nya pendamba-Nya

Di halaman-Mu singgah kafilah pengharap
Di serambi-Mu berhenti dambaan para pencari karunia
janganlah membalas harapan kami dengan kekecewaan dan keputusasaan
janganlah menutup kami dengan jubah keprihatinan dan keraguan

Ilahi
Besarnya nikmat-Mu mengecilkan rasa syukurku
Memudar-di samping limpahan anugerah-Mu-pujian dan sanjungku
Karunia-Mu yang berupa cahaya iman menutupku dengan pakaian kebesaran
Curahan anugerah-Mu membungkusku dengan busana kemuliaan
Pemberiaan-Mu merangkaikan padaku kalung nan tak terpecahkan
dan melingkari leherku dengan untaian yang tak teruraikan
Anugerah-Mu tak terhingga sehingga keluh lidahku menyebutkannya
apalah lagi menentukan luasnya
Bagaimana mungkin aku berhasil mensyukuri-Mu
Karena rasa syukurku pada-Mu memerlukan syukur lagi
Setiap kali aku dapat mengucapkan Bagi-Mu pujian
saat itu juga aku terdorong mengucapkan : Bagi-Mu pujian

Ilahi
Sebagaimana Engkau makmurkan kami dengan karunia-Mu
dan memelihara kami dengan pemberian-Mu
Sempurnakan bagi kami limpahan nikmat-Mu
Tolakkan dari kami kejelekan azab-Mu
Berikan bagi kami di dunia dan akhirat
yang paling tinggi dan paling mulia, lambat atau segera
Bagi-Mu pujian atas keindahan ujian-Mu dan limpahan kenikmatan-Mu
(Bagi-Mu) pujian yang selaras dengan ridha-Mu
Yang sepadan dengan kebesaran kebajikan-Mu
Wahai yang Mahaagung-Wahai yang Maha Pemurah
Dengan Rahmat-Mu
Wahai yang paling Pengasih dari segala yang mengasihi
YA ARHAMAR RAHIMIN