Laman

Assalamu Alaikum.....
Google

Qur'an Random

Sabtu, 27 Februari 2010

Wahyu Ilahi terhadap Hamba-HambaNya

Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin bahwa, sahabat Harist bin Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasul, bagaimana cara datangnya wahyu kepadamu?”
Nabi menjawab, “Kadang wahyu tersebut sampai kepadaku seperti bunyi lonceng dan cara turun wahyu sedemikian ini terasa paling berat bagiku, kemudian aku merasa ketakutan, dan sungguh aku dapat menghafal apa yang telah disampaikan malaikat kepadaku. Dan kadangkala malaikat mengubah wujudnya menjadi sosok seorang laki-laki, kemudian berucap kepadaku, sehingga aku hafal apa yang ia katakan.”
Wahyu merupakan hal yang sangat sakral, tidak sembarang orang menerimanya, makhluk yang dipilih untuk menerima wahyu berarti makhluk yang luar biasa, diantaranya adalah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Turunnya wahyu kepada sang Baginda Rasulullah melalui bermacam-macam cara. Kadang melalui mimpi, kadang juga datang kepada beliau dalam keadaan terjaga.
Nabi kita Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketika wahyu turun, mengalami semacam kepayahan, keningnya bercucuran meskipun saat itu kondisinya sangatlah dingin. Aisyah berkata, “Sungguh aku melihat wahyu diturunkan kepadanya pada waktu sangat dingin sehingga mengakibatkan Nabi ketakutan dan keningnya bercucuran keringat.” (H. al-Bukhari).

Rawi-Rawi Hadis
Perawi Hadis yang terlibat dalam periwayatan hadis ini sebanyak enam rawi, yaitu:
1) Abdullah bin Yusuf al-Mishriy at-Tinnisiy1, 2) al-Imam Malik2, 3) Abul Mundzir, Hisyam bin Urwah bin az-Zubair bin al-Awam al-Qurasyi al-Asadi, 4) Abu Abdillah, Urwah yang tak lain adalah Ayah Shahabat Hisyam (urutan kedua perawi Hadis ini), 5) Ummul Mukminin Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq Radhiyallâhu ‘anhu. 3, 6) Al-Harist bin Hisam bin al-Mughirah bin Abdillah bin Makhzum4, saudara kandung Abu Jahal.
Untuk kapasitas dan kwalitas Hadis di atas, baik yang berkenaan dengan para perawinya atau yang berkenaan dengan matannya tidak perlu dipermasalahkan, sebab Hadis ini sudah diteliti oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dan keduanya mencantumkan Hadis tersebut dalam karyanya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan Ulama sudah sepakat dan mengamini kwalitas dan tingkat akurasi kedua kitab Shahih tersebut.

Wahyu ataukah Ilham?
Wahyu adalah sebuah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada Nabi-Nya secara samar atau tersembunyi. Wahyu menurut istilah syariat adalah penjelasan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang ditujukan kepada Nabi-nabiNya atas suatu hal, adakalanya berupa Kalam, Risalah via malaikat, dan lain sebagainya, baik ketika tidur atau terjaga. Kadang kala kata “wahyu” ini diartikan sebagai barang (materi) yang diwahyukan. Arti sedemikian ini bila lihat dengan kacamata ilmu Balaghah merupakan bagian dari sastra Arab yang berupa bentuk kata mashdar (pekerjaan/proses). Tapi yang dimaksud adalah maf’ûl (obyek) atau sesuatu yang diwahyukan. Jadi kata “wahyu” berarti sesuatu yang diwahyukan kepada rasul-Nya. Hal ini mencakup al-Qur’an dan Hadis sebagaimana dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya5: “Ucapan (Muhammad) itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS an-Najm [35]: 04) Kata “wahyu” memiliki beberapa pengertian serta bentuk tergantung dengan kalimat apa kata tesebut dikaitkan. Jika kata wahyu dikaitkan atau disandingkan dengan kata “Nabi” atau “Anbiya’” (para nabi), maka mempunyai tiga bentuk6:
Pertama, wahyu yang ditransfer kepada nabi-Nya yang berupa kalam qadîm seperti yang pernah dialami oleh Nabi Musa ‘Alaihissalâm di Bukit Tursina (Gunung Sina). Kedua, wahyu yang tersampaikan kepada nabi melalui perantara malaikat, seperti dalam firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau mengutus seorang utusan (malaikat)..” (QS asy-Syûrâ [42]: 51). Dan Ketiga, wahyu menghembus ke dalam hati Nabi, sesuai dengan Hadis Nabi : “Innar-Rûh al-Quddûs nafatsa fî rau‘î ay nafsî”. Artinya, “Sesungguhnya malaikat jibril meniupkan pada hatiku.”
Dalam Hadis di atas, kata “rau’î” ditafsiri dengan kata “nafsi” yang artinya hatiku. Menurut sebagian pendapat bentuk wahyu yang ketiga ini juga dialami oleh Nabi Daud ‘Alaihissalâm.
Lain halnya bilamana kata “wahyu” disandingkan dengan kata selain kata “Anbiya’” maka kata wahyu tersebut mempunyai arti ilham. Seperti wahyu Allah Subhânahu wa ta‘âlâ kepada lebahdalam firman Allah yang artinya, “Dan tuhanmu mewahyukan pada lebah…” (QS an-Nahl [16]: 68)7

Bentuk Turunnya Wahyu
Imam as-Suhaili memaparkan dengan jelas bahwa kata “wahyu” mempunyai tujuh bentuk, yaitu:
Pertama, mimpi (manâm) seperti yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur…” (HR al-Bukhari)
Kedua, kedatangan wahyu seperti bunyi sebuah lonceng, seperti dalam Hadis di atas. Ulama berpendapat bahwa cara turunnya wahyu yang sedemikian mempunyai hikmah yang tersimpan, yaitu menarik dan memfokuskan perhatian Nabi dari hal-hal lain.8
Ketiga, datangnya wahyu merasuk ke dalam hati Nabi. Bentuk ini sejalan dengan pembagian wahyu yang ketiga.
Keempat, malaikat menjelma menjadi sesosok manusia. Seperti Hadis di atas. Pernah suatu ketika malaikat menjelma menjadi Sahabat Dihyah bin Khalifah al-Kalbi. Sahabat Dihyah adalah Sahabat yang paling tampan di antara sahabat-sahabat yang lain. Dengan alasan itu pula malaikat yang menjelma sahabat Dihyah memilih untuk menutupi wajahnya dengan sehelai kain supaya terhindar dari ketertarikan kaum Hawa.9
Kelima, Malaikat Jibril memperlihatkan sosok seperti wujud aslinya dengan perlengkapan sayap yang berjumlah 600 dan menyajikan barang yang dianggap sangat berharga di kalangan manusia, yaitu sebuah lu’lu’ (permata) dan Yaqut.
Keenam, Allah Subhânahu wa ta‘âlâ memperdengarkan suara dari belakang hijâb. Kejadian ini sama persis yang dialami Nabi Musa ‘Alaihissalâm di sebuah Bukit Tursina (Gunung Sinai). Allah Subhânahu wa ta‘âlâ berfirman yang artinya, “…Dan Allah Subhânahu wa ta‘âlâ telah bebicara kepada Nabi Musa ‘Alaihissalâm dengan langsung” (QS an-Nisa’ [04]: 164). Dan yang dialami Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika malam Isrâ’, firman Allah Subhânahu wa ta‘âlâ yang artinya, “…atau dari belakang tabir.” (QS asy-Syûrâ [42]: 51)
Wahyu turun kepada Rasulullah baik beliau dalam keadaaan terbangun, seperti dalam Hadis yang diriwayatkan Aisyah yang artinya, “Kemudian malaikat datang kepadaku dan berkata, ‘Bacalah!’”, ataupun pada waktu Nabi sedang dalam keadaan tertidur seperti dalam Hadis yang juga diriwayatkan oleh Aisyah yang artinya, “Pertama kali turunnya wahyu adalah mimpi indah pada waktu Nabi tertidur”.
Ketujuh, wahyu yang disampaikan melalui malaikat Israfil. Yang dimaksud wahyu di sini bukanlah al-Qur’an. Karena malaikat Israfil menemani Nabi semenjak diangkat menjadi Nabi selama tiga tahun, sebelum diangkat menjadi Rasul. Sedangkan al-Qur’an sepenuhnya diturunkan melalui perantara Jibril ‘Alaihissalâm.10

Kesimpulan
Kedua Hadis di atas menunjukkan kepada kita salah satu bentuk turunnya wahyu yang diterima Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dari kedua Hadis tersebut dapat kita mengerti bahwa menerima wahyu bukanlah hal yang gampang dan terasa ringan. Dengan gamblang Nabi menceritakan bahwa rasanya sangat berat dan sakit.
Dan yang perlu diperhatikan dalam redaksi Hadis di atas adalahbahwasanya pertanyaan Sahabat Hisyam Radhiyallâhu ‘anhu yang tertera dalam Hadis di atas murni bertujuan untuk ketenangan hati, serta bukanlah sebuah wujud dari keingkaran sahabat Nabi.11

Catatan akhir:
1 Dikenal dengan at-Tinnisiy karena mukim di Tinnis, wafat tahun 218 H. Tahdzibul-Kamal X/654. disepakati kredibilitasnya sebaimana komentar Imam al-Kholiliy, Tahdzibut-Tahdzib 6/80
2 Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Malik bin Abi Amir al-Ashbikhiy al- Madaniy. Lahir 95 H. salah satu golongan Muktsirin, meriyaytkan meriwyatkan sebayak 2630 Hadis, wafat 179 H. pada usia 94
3 Lahir selisih empat atau lima tahun setelah kenabian, salah satu golongan Muktsirin, meriwyatkan sebanyak 2210 Hadis. Wafat malam Selasa tangaal 17 Ramadan pada tahun 58 H
4 Hadir dalam peperangan Badar sesbagai musuh orang Islam (bersatatus Kafir), kemudian masuk Islam pada hari penaklukan Makah, beliau mempunyai 32 anak
5Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy, Darulfikr,1994, I/9
6 Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ‘ilmiyah ,2001, I/79
7 Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi , Tafsir al-Baghawi, Dar Thayyibah, 1997, VII/400
8 Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarhu an-Nawawiy ‘ala al-Muslim, Dar kotob Ilmiyah ,2000, viii/46
9 Syaikh Abdullah bin Hijazi as- Syarqawi, Fathul-Mubdiy, Darulfikr,1994, I/ 09
10 Lihat ‘Umdatul-Qârî Syarh Shahîhul-Bukhari, 2001, Dar Kotob Ilmiyah, vol.I hlm.79.
11 Badruddin al-Aini, ‘Umdat al-Qariy, Darul kutub ilmiyah, I/88

Senin, 22 Februari 2010

WASIAT UNTUK KELUARGA DAN ANAK-ANAK

Wahai saudaraku muslim! Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,

Artinya, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka{laki-laki}atas sebagian yang lain {wanita}dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa: 34)

Allah telah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin bagi para wanita dan ini sesuai dengan fitrah dan naluri manusia, agar alam ini berjalan sesuai dengan hukum-hukum Allah Subhannahu wa Ta'ala .
Maka bagi laki-laki memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya dengan pendidikan yang baik dan benar yang akan menjamin kebahagian dunia dan akhirat. Dan pendidikan yang paling penting adalah mengajarkan mereka agama dan adab-adab Islam sebagai realisasi dalam meneladani Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan meniti kehidupan sesuai dengan ajarannya. Wahai para ayah ajarkan dan didiklah anak-anak kalian dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang sholih.

Ajarkan juga pokok-pokok keimanan yang telah diterangkan oleh Al-Qur‘an dan biasakanlah mereka untuk berpegang teguh dengan rukun-rukun Islam. Ajarkan kepada istri dan anak-anak kalian untuk mencintai Allah, tancap-kan keimanan, kecintaan, penghormat-an, dan pengagungan terhadap Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam di dalam hati mereka. Mereka wajib untuk menaati apa yang diperin-tahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam, membenarkan setiap berita yang beliau sampaikan dan menjauhi apa yang dilarangnya dan tidak beribadah kepada Allah, melain-kan sesuai dengan apa yang dia syariatkan. Barang siapa yang berpaling dari petunjuknya, maka dia termasuk ahlul bid’ah.

Ajarkan mereka untuk mencintai sahabat Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam yang mulia sebagai imam yang telah mendapatkan petunjuk yang lurus. Terangkan kepada mereka bagaimana sahabat beribadah, berakhlak dengan akhlak yang mulia, berilmu yang luar biasa, bersungguh-sungguh dalam beragama. Dan terangkan juga tentang jihad dan perjuangan mereka di jalan Allah Subhannahu wa Ta'ala. Hingga akhirnya melalui mereka Allah membuka hati dan telinga umat manusia, membuka negara-negara dan kerajaan-kerajaan, dan menghukum orang orang kafir dan munafik dengan kehinaan.

Dan terangkan juga tentang sejarah hidup mereka yang luar biasa, bagai-mana kebenaran Iman mereka dan sempurnanya mereka di dalam mengikuti Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , dalam beribadah, berjihad dan menginfaqkan harta yang amat banyak dalam rangka untuk mencari ridha Allah Subhannahu wa Ta'ala .

Dan tanamkan kepada mereka bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang mau mengikuti Sahabat Rasullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan orang yang celaka adalah yang mencela, mendiskreditkan mereka serta menempuh jalan kehidu-pan selain jalan mereka.

Dan perintahkan kepada mereka untuk menunaikan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, perintahkan anak laki-laki supaya berjamaah di masjid bersama kaum muslimin, dan yang perempuan supaya berjamaah bersama ibu mereka di rumah. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,
Artinya,“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepa-damu. Dan akibat(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa." (Thaha: 132)

Dan juga pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki dan perempuan ketika mereka berumur sepuluh tahun, jauhkan mereka dari kawan yang jelek. Tumbuhkanlah mereka dengan ahklaq ahlu iman, seperti berbakti kepada orang tua, silaturahim, bergaul dengan baik terhadap saudara seagama, senang bersedekah, berbuat yang ma‘ruf dan kebaikan, menghormati tetangga dan tamu, dan mencegah dari perbuatan jelek serta menyakiti sesama manusia.

Dan ajarkan juga tentang keimanan kepada qadla dan qadar, ajarkan agar selalu menghadapi takdir dengan menyerahkannya kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala sebagai Rabb yang mengatur seluruh alam. Karena sesungguhnya Allah yang memberi dan Allah yang memgambil, segala sesuatu datang dari sisi-Nya sesuai dengan waktu yang ditentukan-Nya. Orang yang berbahagia adalah orang yang beriman kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya serta berusaha keras mencari jalan-jalan (wasilah) yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Orang yang celaka adalah orang yang menuyelisihi-Nya, bermaksiat terhadap perintah-Nya, menentang-Nya, kufur terhadap-Nya, benci terha-dap ketentuan-Nya dan berpaling dari takdir-Nya.
Jauhilah perkara-perkara yang mengantarkan kepada kemurkaan Allah Subhannahu wa Ta'ala yang mengakibatkan dimasuk-kan ke dalam api neraka bersama orang-orang kafir Allah Ta‘ala berfirman,
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu menger-jakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka, dengan membuka pintu-pintu kebaikan kepada anak dan istri kalian dan selalu mengarahkan mereka kepada kebaikan-kebaikan tersebut, selalu memberi dorongan kepada mereka untuk melaksanakannya, dan hendaknya kalian menjadi teladan bagi seluruh anggota keluarga.

Jangan sekali-kali meremehkan pendidikan terhadap keluarga kalian, dan jangan menganggap ringan dalam mengarahkan dan menunjuki mereka didalam kebaikan, karena kalian bertanggung jawab atas mereka.

Bersabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam ,
“Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap pemimpin amanah yang diembankan kepadanya; apakah dia menjaganya atau menyia-nyiakannya, sampai seseorang ditanyai tentang keluarganya” (HR. An-Nasai)

Dan bersemangatlah dalam mendidik mereka di dalam kebaikan dunia dan akhirat. Semoga Allah menjadikan kita seperti orang-orang yang Allah firmankan,
Artinya, “Yaitu surga 'Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan) "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesuda-han itu.” (Ar-Ra’d : 23-24)

Dan bersungguh-sungguhlah dalam mengajarkan mereka tentang Kitabullah dan as-Sunnah serta atsar-atsar (perikehidupan) salafusholih, maka Allah akan memberikan kemuliaan kepada kalian lebih dari yang kalian harapkan, dan akan mengamankan kalian dari mara bahaya apa pun, akhirnya Allah akan mengumpulkan kalian bersama anak dan istri kalian disurga-surga dan akan duduk ditempat orang-orang yang terhormat. Allah berfirman,
Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (At-Thur : 21)

Sesungguhnya seorang ayah apabila memberikan perhatian serius di dalam mendidik anak dan istrinya serta orang-orang yang menjadi tanggung jawab-nya, maka ia ibarat seseorang yang menebarkan di atas bumi yang subur benih-benih yang paling bermanfaat dan paling baik, yang kelak dengannya akan mendatangkan buah yang melim-pah dan hasil (panen) yang baik.

Tetapi apabila meremehkan pendidikan keluarga dan merasa cukup dengan sekedar memberikan makan, minum, pakaian dan lainnya, kemudian ia tinggalkan begitu saja seperti bina-tang ternak, tidak mengetahui yang halal dan yang haram, dan tidak menunaikan kewajiban dan tanggung jawab, dan tidak ada rasa penghormatan kepada yang tua dan tidak ada belas kasihan terhadap yang muda, maka yang seperti itu justru akan menjadi azab bagi diri mereka, keluarga dan masyarakat seluruhnya.
Padahal setiap muslim akan ditanya di hadapan Allah Subhannahu wa Ta'ala tentang beban tanggung jawab yang dipikulnya. Apakah ia tunaikan dan pelihara atau malah justru melalaikan dan menyia-nyiakannya.

Sesungguhnya anak-anak kita, belahan hati kita adalah pemuda-pemuda di hari ini dan merupakan generasi penerus untuk masa depan, jangan kalian melupakan doa untuk mereka, supaya mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah Subhannahu wa Ta'ala agar menempuh jalan yang dicintai Allah dan diridhai-Nya.
Artinya, “Ya Rabb kami, anugerah-kanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Sumber : Buletin, “al-Washiah bil Ahl wal Aulad.” (Azhar/alsofwah)

JALAN YANG LURUS

AlQur’an Adalah satu2 jalan kehidupan … Jalan yg lurus .. jalan orang2 yg beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Segala sesuatu telah Allah ungkapkan didalam Alqur’an .. memberikan Informasi yg dibutuhkan manusia2 yg berakal dan beriman kepada Dzat Pencipta segala sesuatu .

Banyak hal2 yg telah dijelaskan didalamnya akan tetapi kalau mencakup persoalan Ghaib , tentang Allah Subhanahu Wa Ta’ala .. Syurga .. Neraka serta Rasa maka Al Qur’an menggunakan kalimat perumpamaan atau yg disebut Mutasyabihaat .

Ada kelemahan bahasa manusia jika mengungkapkan masalah Rasa , sehingga Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam ketika menjelaskan masalah syurgapun tidak menjelaskan keadaan sebenarnya …, beliau hanya memberikan gambaran bahwa syurga itu indah dan nikmat , dibawahnya ada air susu dan madu mengalir , ada buah-buahan , korma , anggur dan arak…, setelah itu Beliau memberikan penjelasan … keadaan syurga itu tidak pernah terdengar oleh telinga … tidak bisa terbayangkan oleh Pikiran … dan tidak pernah terlintas dihati .

Bagaimana Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam akan menjelaskan sesuatu , atau keadaan yang didunia Ini tidak ada . Bagaimana Beliau akan memperbandingkan sesuatu yang tidak ada didunia . Apa jadinya kalau syurga itu seperti apa yang telah kita bayangkan tadi … mirip dengan apa yang kita Rasakan … Hal ini juga terjadi kepada kita , ketika dihadapkan persoalan ungkapan Rasa .

Namun demikian , kita sudah memahami maksudnya tanpa harus menafsirkan kalimat tersebut , sebab kalau kita mencoba menafsirkan ungkapan itu maka akan terjadi kesalah fahaman yang pasti akan menyimpang , sehingga wajarlah Rasulullah Shallallahu A’laihi Wasallam tidak pernah menafsirkan atau memberikan keterangan hal tersebut sebab para sahabat sudah mengerti Maksudnya tanpa harus bertanya apa maksudnya .

Begitu pula tentang keberadaan Allah bahkan wujud Allah Allah Subhanahu Wa Ta’ala … Allah Mempergunakan kalimat mutasyabihat dalam menerangkan keadaan diriNya …
” … Allah adalah cahaya langit dan bumi” ( Qs . An Nur : 35)
” … hai iblis apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Ku Ciptakan dengan kedua tangan-Ku …” ( Qs . As Shaad : 75)
“maka Allah menjadikannya tujuh langit dalam dua masa …”
(Qs. Al Fushilat : 12)
” … Allah meliputi segala sesuatu” ( Qs . Al Fushilat 54)
“Dan Dia lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan singgasana-Nya sebelum itu berada diatas air” (Qs . Al Hud : 7)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku ini dekat …” (Qs . Al Baqarah :186)
“.. dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” ( Qs . Qaaf :16)
” … ingatlah bahwa sesungguhnya Dia maha meliputi segala sesuatu”
( Qs . Al Fushilat : 54)
” … kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah .. ”
( Qs. Al Baqarah : 115)

Sangat jelas bagi kita , bahwa ungkapan2 mutasyabihat diatas , dimengerti bukan untuk ditafsirkan , melainkan sebagai batasan Pikiran melalui konsepsi pemikiran manusia , Bukan hal yang sebenarnya , sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak bisa dibandingkan dengan segala sesuatu .
” .. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia , … ( QS. As syura : 11 )
Bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak bisa dilihat dengan mata manusia dan tidak bisa dijangkau oleh fikiran manusia akan tetapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Melihat dan mengawasi segala sesuatu .
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mentasybihkan dan menggunakan kata2 yang dimiliki manusia untuk memudahkan berdialog dan memberikan pengertian dalam bentuk bahasa manusia dan ilmu , sebab kalau kita menterjemahkan dengan kata sebenarnya maka akan ada benturan2 yang saling bertentangan

Selasa, 16 Februari 2010

ORANG YANG BAIK

SIAPAKAH yang disebut sebagai orang baik itu? Barangkali masing-masing orang akan punya puluhan jawab mengenai defenisi orang yang baik dari berbagai fram pengetahuan, kebudayaan, kebiasaan sehari-hari, bahkan melalui intuisi anda masing-masing.

Seorang Auliya' tiba-tiba menjawab. "Orang yang baik adalah orang yang apabila sendiri tetap baik...."
Apakah ketika anda sendiri berada dalam keadaan seimbang dengan saat bersama banyak orang-orang? Apakah anda mengeluh ketika sendiri, dan tidak mengeluh ketika ada orang yang anda segani? Allah dimana ketika itu, sampai harus membedakan sendiri dan tidak sendiri?

Orang yang baik adalah orang yang tetap baik ketika sendiri. Karena sendiri dan tidak sendiri bukan menjadi tirai antara dirinya dengan DiriNya. Sendiri dan banyak orang bukanlah penghalang hamba dengan Rabbul Izzah.

Tapi lebih penting lagi, jika anda berani bercermin, lalu bertanya, "Apakah aku ini sesungguhnya orang yang baik?"

'UJUB LEBIH BERDOSA DIBANDING MAKSIAT

"Dan di hari perang Hunain, ketika kalian bangga oleh jumlah besarmu, dan kalian tidak sama sekali bisa berbuat apa-apa." (At-Taubah 25).

Yaitu orang-orang yang sesat perjalanan hidupnya di dunia, sedang mereka merasa perbuatannya adalah tindakan terbaik....."(Al-Kahfi 104)

Bangga diri, menepuk dada, merasa lebih dari yang lain telah menyeret diri kita pada kesombongan. Karakter yang tiba-tiba melesat jauh dari fitrah kita, dan menghapus jati diri kita pada kesombongan. Karakter yang tiba-tiba melesat jauh dari fitrah kita, dan menghapus jatidiri sesungguhnya sebagai manusia. Sosok makhluk yang dekat dengan Allah, bernama Azazil, hanya karena kekaguman pada amalnya, merasa lebih pada bahan baku ciptaannya, lalu dengan sombongnya menolak perintah Allah untuk sujud pada Adam as, tiba-tiba dirinya telah berubah menjadi Iblis.

Ketakjuban diri, ternyata melemparkan diri kita dari keikhlasan sejati. Ketakjuban yang mungkin kita anggap sebagai tameng harga diri, ternyata telah berubah menjadi hijab atau tirai yang menghalangi kita dengan kemuliaan Allah. Karena itu kita waspadai sepenuhnya, instrument-instrument yang sangat rawan menyebabkan kita bisa takjub diri:

Yang berhubungan dengan keagamaan:
-- Prestasi amal ibadah yang kita bangga-banggakan
-- Ilmu pengetahuan agama dan kemampuan menyampaikannya
-- Pengalaman spiritual yang lebih dari orang lain
-- kedudukan sosial keagamaan yang lebih dari rata-rata publik ummat,
-- Simbol sosial yang berhubungan dengan kedudukan keagamaan seperti gelar Ustadz, Kiai, Ulama, Gus, Ajengan, Buya, Pak Haji dll.
-- Pemimpin agama, seperti Rois, Aminul 'Am, Al-Imam, dsb.
-- Dukungan dan ketundukan orang lain karena kemampuan luar biasa

Yang berhubungan dengan Dunia:

-- Kedudukan sosial politik
-- Kekayaan materi
-- Bentuk fisik yang lebih gagah, ganteng, cantik ketimbang yang lain
-- Selebritis
-- Kemampuan intelektual
Kemudahan-kemudahan dalam urusan dunia
-- Jabatan karir
-- Anak-anak dan keluarga yang hebat
-- Nasab atau keturunan
-- Prestasi kerja
-- Dukungan massa besar
-- Popularitas dan Nama besar

Seluruh kehebatan di atas, manakala menimbulkan rasa bangga diri, kagum diri, sesungguhnya tidak lebih dari istidroj (kelihatannya mulia, namun sesungguhnya bencana), NA'UDZUBILLAH MINDZAALIK.

Pemuasan-pemuasan nafsu, apakah dibalik ibadah keagamaan atau pun dibalik prestasi duniawi, tidak lebih dari aktivitas penumpukan sampah dari jati diri kita. Kenapa Allah menolak mentah-mentah orang yang takjub pada dirinya sendiri? Karena orang tersebut telah mengintervensi Jubah-jubah Tuhan untuk dipakai.

Sebab yang berhak dipuji hakikatnya hanyalah Allah Ta'ala, bahkan ketika ada orang memuji kita, lalu kita ucapkan "Alhamdulillah...."
Kenyataannya lebih besar rasa senang dan kagum kita pada diri sendiri, dibandingkan dengan penghayatan bahwa yang berhak dipuji itu hanyalah Allah.

Untuk memerangi rasa Ta'jub diri ini, mesti kita lihat dampak buruknya:
-- Ketakjuban diri sebagai gerbang kesombongan-- Ketakjuban diri sebagai wujud dari alpa diri kepada Allah
-- Ketakjuban diri menimbulkan porakporandanya tatanan hati
-- Ketakjuban diri menutup perjalanan ruhani
-- Ketakjuban diri memanjakan nafsu kita
-- Ketakjuban diri melempar kita dari ikhlas, tawakkal dan ridha
-- Ketakjuban diri mendegradasi derajat luhur para hamba Allah
-- Ketakjuban diri adalah kegelapan diri
-- Ketakjuban diri adalah bentuk azab atau siksaan di dunia
-- Ketakjuban diri didukung oleh massa besar syetan

Mari kita renungi:

-- Bahan baku kita yang hina
-- Sifat asli kita yang faqir, hina, lemah, dan tak berdaya
-- Kemampuan ibadah kita hanyalah semata anugerah Allah bukan ciptaan kita
-- Manusia tempatnya salah, lupa, alpa, dosa, dan gelap
-- Ada kehidupan yang hakiki di akhirat nanti, bukan di dunia semu ini
-- Manusia berkehendak, Allah berkehendak, dan yang berlaku adalah Kehendak Allah
-- Tidak ada kisah atau sejarah manusia yang takjub dirinya menjadi manusia mulia

Mari kita perangi dengan:
-- Tegas pada diri sendiri, keberanian melawan hasrat-hasrat takjub diri
-- Menyadari bahwa kita hanyalah hamba Allah, bukan hamba diri sendiri, juga bukan hamba berhala yang banyak bercokol di hati
-- Rasa yaqin kepada Allah tanpa disertai rasa takut, khawatir dan gelisah
-- Satu-satunya yang mempengaruhi hatimu adalah Allah, bukan imajinasimu, sahabatmu, atau fenomena sosial dan kehidupan
-- Memposisikan Allah dan Rasul sebagai prioritas utama dalam segala hal


(Sumber : Cahaya Sufi)